APAKAH MINYAK SAWIT BERKELANJUTAN BENAR-BENAR BERKELANJUTAN?

APAKAH MINYAK SAWIT BERKELANJUTAN BENAR-BENAR BERKELANJUTAN?

minyak sawit

Apakah minyak sawit yang kita gunakan benar-benar ramah lingkungan? Setiap kali kita menyalakan mesin mobil, kita turut membakar hutan gambut. Setiap kali kita keramas, kita berkontribusi pada kematian orangutan. Dan setiap kali kita menikmati cokelat, kita merampas tanah dari mereka yang paling membutuhkan.

Terdengar mengada-ada?

Masalah minyak sawit dan dampaknya terhadap lingkungan sudah jadi perdebatan global. Untuk mengatasi masalah ini, muncullah sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil  (RSPO). Namun, banyak pihak meragukan klaim ‘berkelanjutan’ dari minyak sawit bersertifikasi RSPO. Penelitian menunjukkan bahwa label ‘berkelanjutan’ ini kadang hanya digunakan untuk tujuan pemasaran.

Mari kita lihat bagaimana keadaan sebenarnya sedikit lebih detail:

1. GLOBALISASI MINYAK SAWIT

Masyarakat di Afrika Barat sudah ribuan tahun memanfaatkan buah kelapa sawit untuk diambil minyaknya. Minyak sawit ini punya ciri khas warna dan aroma yang kuat. Namun, seiring perkembangan industri, proses produksi minyak sawit mengalami perubahan besar. Kini, minyak sawit yang dihasilkan lebih jernih dan rasanya lebih netral. Hal ini disebabkan oleh kemajuan teknologi dan program pemuliaan tanaman.

Tingginya produktivitas tanaman kelapa sawit, yang mampu menghasilkan lebih dari 6 kg minyak per tandan, telah menjadikan minyak sawit sebagai komoditas minyak nabati yang paling banyak diproduksi di dunia. Fleksibilitas minyak sawit sebagai bahan baku membuatnya banyak digunakan dalam berbagai industri, termasuk industri makanan, kosmetik, dan energi.

2. MASALAH KEBERLANJUTAN SOSIAL KELAPA SAWIT

Tahun 2015, PBB meluncurkan Agenda 2030 sebagai panduan untuk mencapai dunia yang lebih baik dan berkelanjutan. Agenda ini terdiri dari 17 tujuan yang saling berkaitan. Karena tujuan utamanya adalah menciptakan kesejahteraan bersama, maka tidak heran jika banyak tujuan dalam Agenda 2030 ini fokus pada aspek sosial, seperti pengentasan kemiskinan, kesetaraan gender, dan kesejahteraan masyarakat.

Beberapa tujuannya meliputi:

  • Tidak ada kemiskinan
  • Kesetaraan Gender
  • Nol kelaparan
  • Perdamaian, keadilan, dan lembaga yang kuat
  • Kesehatan dan kesejahteraan yang baik
  • Pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi

Bagaimana industri kelapa sawit bisa mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan? Beberapa media telah mengkritik larangan penggunaan minyak sawit, dengan alasan bahwa hal ini akan berdampak negatif pada kehidupan pekerja miskin yang menggantungkan hidupnya pada industri ini. Meskipun banyak petani kecil yang mendapatkan manfaat dari perkebunan kelapa sawit, namun tidak semua petani merasakan dampak positif yang sama.

3. KERJA PAKSA

Karena banyak pekerja di perkebunan kelapa sawit Malaysia berasal dari negara lain, perusahaan seringkali melakukan tindakan yang tidak adil terhadap mereka. Salah satu caranya adalah dengan mengambil paspor pekerja. Meskipun beberapa perusahaan besar telah berusaha memperbaiki situasi ini, namun praktik mengambil paspor masih sering terjadi, terutama di perusahaan-perusahaan kecil dan menengah.

Institut Schuster mengungkapkan kasus eksploitasi tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit. Seorang pemuda dilaporkan ditahan di perkebunan dan dipaksa bekerja tanpa bayaran selama dua tahun. Ini sangat bertentangan dengan isi kontrak kerjanya yang menjanjikan upah yang wajar sesuai dengan standar industri kelapa sawit di Indonesia.

4. PEKERJA ANAK

Laporan Amnesty International mengungkapkan bahwa praktik kerja anak di perkebunan kelapa sawit seringkali disebabkan oleh beban kerja yang tidak wajar yang diberikan kepada pekerja dewasa. Hukuman yang keras jika gagal mencapai target produksi yang tidak realistis memaksa banyak orang tua untuk menarik anak-anak mereka dari sekolah agar ikut bekerja. Sayangnya, alih-alih memperbaiki sistem kuota dan hukuman yang tidak adil ini, banyak perkebunan, termasuk yang bersertifikat “berkelanjutan”, justru menutup mata terhadap masalah ini.

5. DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN

Praktik perekrutan yang diskriminatif terhadap perempuan di sektor perkebunan seringkali didorong oleh kekhawatiran akan kehamilan. Akibatnya, perempuan lebih sering dipekerjakan sebagai pekerja lepas dan ditempatkan pada pekerjaan yang berisiko tinggi, seperti aplikasi pestisida. Meskipun perusahaan multinasional telah mempromosikan inisiatif keselamatan kerja, namun laporan menunjukkan bahwa banyak pekerja perempuan di perkebunan mereka masih terpapar bahan kimia berbahaya dalam kondisi kerja yang tidak aman.

Para pekerja seringkali dites darah untuk memeriksa kadar kimia berbahaya dalam tubuh mereka. Jika hasilnya buruk, mereka hanya dipindahkan ke pekerjaan lain tanpa diberi tahu tentang risiko kesehatan jangka panjangnya. Mereka juga tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai.

6. WAJAH PALSU UNTUK "PERTUMBUHAN EKONOMI"

Industri kelapa sawit memang membuka banyak lapangan kerja, tapi pekerjaannya tidak tetap dan tidak aman. Banyak pekerja hanya punya kontrak kerja sementara dan tidak punya perlindungan dari pemerintah. Pemerintah membiarkan hal ini terjadi agar banyak perusahaan asing mau berinvestasi di Indonesia. Ketika para pekerja protes, mereka malah dipecat.

7. PERAMPASAN TANAH

Dalam sebuah makalah untuk Canadian Journal of Development Studies, peneliti Oliver Pye menulis:

“Rantai kausal yang agak sederhana ini – kebijakan mitigasi perubahan iklim → perampasan lahan → percepatan tingkat emisi melalui perubahan penggunaan lahan – menggambarkan bagaimana dinamika transnasional dapat memiliki dampak yang tidak terduga dan mungkin tidak diinginkan.”

Penulis mengkritik dua praktik yang saling terkait: ‘perebutan hijau’ dan ‘perampasan lahan’ untuk perkebunan kelapa sawit. Kedua praktik ini telah merugikan masyarakat, terutama petani kecil, karena tanah mereka diambil alih untuk kepentingan kelompok yang lebih kuat. Ironisnya, program-program yang seharusnya membantu petani kecil, seperti program kemitraan kelapa sawit, justru memperburuk kesenjangan sosial.

8. PUTUSAN

Tujuan RSPO untuk menciptakan industri kelapa sawit yang berkelanjutan dan memperhatikan kesejahteraan pekerja ternyata belum tercapai. Banyak sekali masalah sosial yang terjadi di perkebunan kelapa sawit bersertifikat RSPO. Karena kurangnya transparansi, konsumen sulit untuk memastikan bahwa produk yang mereka beli tidak berkontribusi pada masalah-masalah tersebut.

9. JALUR KEHANCURAN MINYAK SAWIT

Penebangan hutan untuk perkebunan kelapa sawit telah mengancam keberadaan banyak spesies langka, terutama Orangutan. Ironisnya, bahkan perkebunan kelapa sawit yang mengklaim diri sebagai ‘berkelanjutan’ justru berkontribusi pada kerusakan hutan yang lebih besar. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hutan di area perkebunan bersertifikat ‘berkelanjutan’ justru lebih cepat hilang.

RSPO seringkali dikritik karena gagal menjalankan fungsinya dalam mengawasi industri minyak sawit. Aturan-aturan yang lemah dan praktik korupsi di dalam organisasi ini membuat upaya untuk menciptakan industri minyak sawit yang berkelanjutan menjadi sia-sia.

10. ASAP PERTANIAN DILIHAT DARI LUAR ANGKASA

Karena sulit dan mahal untuk menebang hutan menggunakan mesin, banyak orang memilih cara yang lebih mudah dan murah, yaitu membakar hutan. Padahal, cara ini sangat merusak lingkungan. Selain menghancurkan habitat satwa, asap dari kebakaran hutan juga menyebabkan polusi udara yang parah dan mempercepat perubahan iklim.

Kebakaran hutan di Sumatera pada tahun 2013 menyebabkan polusi udara yang sangat parah di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ini mengancam kesehatan masyarakat, namun pemerintah Indonesia justru menyalahkan pihak lain. Selain kebakaran hutan, keberadaan lapisan gambut yang mudah terbakar juga memperparah situasi.

Pembakaran lahan gambut memiliki dampak yang jauh lebih buruk terhadap atmosfer dibandingkan dengan kebakaran hutan biasa. Menanggapi peristiwa kabut asap yang melanda Asia Tenggara, CSIRO melakukan penelitian untuk mempelajari polusi atmosfer akibat kebakaran gambut:

  1. Kebakaran gambut melepaskan logam berat dalam jumlah yang jauh lebih besar ke udara, termasuk 15 kali lebih banyak merkuri dibandingkan kebakaran hutan di dataran tinggi.
  2. Berbeda dengan kebakaran hutan, pembakaran gambut menghasilkan pembakaran yang tidak sempurna, melepaskan lebih banyak VOC (senyawa organik yang mudah menguap) seperti benzena dan toluena yang diketahui bersifat karsinogenik.
  3. Gambut yang terbakar di hutan hujan tropis mengeluarkan lebih banyak metana (gas rumah kaca yang kuat) dibandingkan dengan gambut di daerah beriklim sedang. Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Geophysical Research menunjukkan bahwa kebakaran gambut melepaskan sepuluh kali lebih banyak metana daripada kebakaran sabana, serta tiga kali lebih banyak karbon monoksida.

11. KESIMPULAN

Jika kita gabungkan masalah pembakaran hutan hujan dengan korupsi dan kelemahan dalam sistem sertifikasi ‘berkelanjutan’, kita akan melihat masalah yang sangat kompleks dan sulit dipecahkan. Pertanyaannya kemudian muncul: Apakah minyak sawit yang benar-benar berkelanjutan itu ada? Meskipun banyak organisasi berusaha mewujudkan minyak sawit berkelanjutan, kita belum mencapai tujuan tersebut. Di antara banyak perkebunan kelapa sawit, hanya sedikit yang benar-benar menjalankan praktik yang bertanggung jawab.

Sebagai solusi, kita bisa kembali ke cara bertani kelapa sawit yang lebih ramah lingkungan seperti yang dilakukan di Afrika Barat. Dulu, masyarakat setempat menanam kelapa sawit di lahan yang beragam dan memprosesnya secara sederhana. Kita bisa belajar dari mereka dan menerapkannya pada industri kelapa sawit saat ini. Selama industri ini belum benar-benar berkelanjutan, kita harus mencari alternatif lain.

Scroll to Top